Minggu, 11 Maret 2012

10 JurusTerlarang (Strategi Sukses Buat Para Pedagang) by. Iphho Santoso

Jurus 1: mulailah dari yang kanan
Orang kanan
Malam itu saya berjumpa dengan Guru of the Rich. Robert Kiyosaki di Singapura. Dilanjutkan pertemuan dengan Purdi Chandra di Batam dan di Banjarmasin. Kebetulan, saya dan Purdi Chandra menjadi pembicara seminar di dua kota tersebut. Bersua dengan figure-figur terkenal seperti Robert Kiyosaki dan Purdi Chandra, salah-salah pola pikir anda bisa berubah. Tidak percaya? Setidak-tidaknya itu telah “menimpa” teman-teman saya. Betapa tidak? Dalam waktu singkat, Purdi Chandra mampu mengubah persepsi mereka mengenai business owner dan investor, yang mendiami kuadran kanan dalam cashflow quadrant. Mereka seperti tersadarkan!

Selama ini, Purdi Chandra _selain dikenal sebagai pendiri bembingan belajar Primagama dengan ratusan outlet di Indonesia_ ia juga diakui sebagai pengusaha yang mengandalkan pendekatan-pendekatan yang di luar pakem alias tidak lumrah. Tak terkecuali ketika ia mendirikan Entrepreneur University yang kini sudah berjalan di lebih dari 10 kota di Indonesia. Terlepas dari segala kelemahannya, di sini peserta sama sekali tidak diberikan ujian, akreditasi, status dan ijazah. Sebaliknya, mereka berhak berkomunikasi dengan para mentor seumur hidup! Mereka hanya diwisuda setelah menjadi pengusaha. Aneh dan nyeleneh bukan? Namun, tak urung orang berbondong-bondong mendaftarkan diri. Tidak heran jika akhrinya Purdi Chandra dianugerahi MURI Award.

Satu poin mutlak yang diajarkan dan dianjurkan di Entrepreneur University adalah bagaimana mengoptimalkan otak kanan. Seperti yang dirumuskan oleh seorang ahli yang bernama Daniel Goleman, hemisfer otak kanan adalah otak emosional (erat kaitannya dengan EQ) yang bersifat intuitif, kreatif dan ekstensif_alias meluas. Sedangkan itu hemisfer otak kiri adalah otak rasional (erat kaitannya dengan IQ) yang lebih memuat analisis, kalkulasi dan perincian. 

Lateral versus linear.
Nah, manakah yang lebih utama, otak kanan atau otak kiri? Tentu saja, kedua-duanya berguna. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan otak kanan dan otak kiri kalau ternyata salah satunya tidak bermanfaat? Serupa dengan mouse komputer, baik klik kiri maupun klik kanan sama-sama berguna.

Adapun saya pribadi mengimbau siapapun untuk lebih memberdayakan otak kanan. Apa latar belakangnya? Begini, saat saya tampil di suatu forum bersama Kak Seto, ia mengingatkan betapa kerapnya otak kanan dilalaikan dan diabaikan dalam dunial pendidikan selama ini. Itu patut disayangkan! Pendidikan konvensional, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi, selalu dan terlalu banyak mencerdaskan otak kiri. Hanya proses pembelajaran di playgroup dan TK yang menaruh perhatian pada otak kanan. Akibatnya, tak dapat dielakkan, mayoritas manusia kuat otak kirinya. Hanya segelintir manusia yang kuat otak kanannya. Mereka adalah minoritas. Repotnya, alur pikiran minoritas yang sangat intuitif, kreatif, dan ekstensif ini, jelas-jelas tidak nyambung dengan alur pikiran orang mayoritas. Ujung-ujungnya, golongan minoritas sering dicap “gila” oleh golongan mayoritas.

Maklumlah, dalam aspek apapun apabila seseorang tidak sependapat dengan kelompok mayoritas, tentu orang itu akan dianggap tidak waras. Padahal, menjadi intuitif, kreatif, dan ekstensif itu penting! Dengan kata lain, otak kanan itu penting. Saya tidak tahu apakah anda mengerti atau tidak dengan rambu di jalan raya yang betuliskan “gunakan lajur kanan untuk mendahului.” Dalam perspektif bisnis, perintah itu juga berlaku seratus persen. 

Tepatnya, “gunakan otak kanan untuk mendahului yang lain.” Begitulah, otak kanan dapat dikatakan sebagai tiket untuk berada di posisi yang terdepan.
Di atas segalanya, peganglah selalu kutipan religious ini, “mulailah dengan yang kanan.” Penafsirannya menurut Ary Ginanjar dalam ESQ-nya adalah, “mulailah dengan otak kanan.” Kemudian barulah dijabarkan oleh otak kiri. Itu artinya, intuisi dulu, baru analisis. Pebisnis mana sih yang berani dan bernyali menyepelekan intuisi? Asal tahu saja, adalah susah untuk menetapkan keputusan jika hanya mengharapkan otak kiri yang mengharuskan data yang lengkap. Persis seperti seorang Jendral yang tengah menjajaki kekuatan musuhnya. Petunjuk-petunjuk sering tidak komplet. Walhasil, tidak jarang sang Jendral mengira-ngira berdasarkan intuisinya.

Selain intuisi, ada pula kreativitas. Ciputra_seorang raja property sekaligus satu dari sepuluh tokoh bisnis yang paling berhasil di Indonesia menurut majalah Forbes_pernah berargumen, “bangsa yang maju adalah bangsa yang kreatif.” suatu ketika teman saya, seorang Program director di sebuah radio, pernah mengungkapkan bahwa kreativitas itu tidak bisa dicangkok dan dipaksakan. Apa yang mungkin dilakukan hanyalah mamancingnya agar muncul. Maksudnya adalah, di satu sisi, menjadi kreatif itu memang tidak gampang!

Komponen otak kanan yang terakhir adalah berfikir meluas, termasuklah merekayasa big picture, impian, dan visi. Sebagai contoh, visi yang jauh kedepanlah yang membuat Trihatma Haliman, satu dari lima tokoh bisnis yang paling berpengaruh sepanjang 2006 menurut majalah Warta Ekonomi, berani membangnun belasan proyek raksasa dalam setahun, dengan masing-masing proyek menelan biaya tidak kurang dari Rp. 200 Miliar, seumpana senayan city, the peak, dan the pakubuwono residence. Padahal, pada awalnya banyak pihak yang meremehkan visinya tersebut.

Ngomong-ngomong visi itu apa sih? Sesungguhnya, nama lain dari visi adalah niat. Sebagai tambahan, masyarakat Indonesia sendiri mengenal serentetan istilah serba kanan yang seluruhnya identik dengan kebaikan, contohnya, “tangan kanan” dan “langkah kanan.” Tidak terkecuali “golongakn kanan” dalam kitab suci. Malah dalam bahasa inggris, kebetulan kata “kanan” dan “benar” diterjemahken dengan “right.” Maka, tidaklah mengada-ada apabila saya mengartikan kanan itu hamper selalu benar, Right?



Jurus 2: Rancanglah DNA Sedini Mungkin

Menikmati khayalan
Rasa-rasanya, tiada masa yang paling indah selain masa kanak-kanak, kita bebas berbuat apa pun, tanpa takut melanggar norma-norma. Kita bebas berkhayal apapun, tanpa takut bertentangan dengan hukum alam. Jadi, tidaklah mengherankan jika anak-anak ditanya tentang cita-cita, maka jawabannya amat beragam. Bahkan, kadang-kadang lebih tepat disebut dengan khayalan daripada cita-cita.

Akan tetapi, jangan salah! Tidak terkira karya agung dan pencapaian besar manusia yang berasal dari khayalan masa kecil mereka. Anda pernah mendengar Space Ship One? Itu adalah nama pesawat super cepat luar angkasa milik swasta pertama di dunia. Pesawat ini memenangkan Ansari X Prize sebesar sepuluh juta dolar Amerika Serikat, setelah berhasil terbang setinggi 112 km sembari membawa dua penumpang, kemudian kembali mendarat dengan selamat.

Kesuksesan ini menandai era penerbangan sipil ke ruang angkasa. Bagi Burt Rutan, pembuat pesawat Space Ship One, Ansari X Prize hanyalah sebuah penghargaan formal. Di atas segalanya, yang membuatnya paling bahagia adalah ia telah berhasil mewujudkan impian masa kecilnya. Dulu, sewaktu Sputnik diluncurkan, ia masih berusia 14 tahun. Ketika itu, ia yakin suatu hari nanti ia dapat naik pesawat ke luar angkasa, bahkan berlibur ke bulan. Namun ia juga sadar, khayalan itu tidak akan menjadi kenyataan kalau ia ikut ngantre menjadi astronot NASA. Singkat kata ia pun menciptakan Space Ship One.
Nah, bagaimana dengan anda? Masih ingat khayalan anda sewaktu bocah dulu? Saya yakin pasti cita-cita anda tidak tanggung-tanggung. Tetapi jangan pernah takut untuk mewujudkan khayalan anda. Karena sesungguhnya kesuksesan itu berawal dari pikiran anda.

Menikmati Impian
Kalau khayalan lebih bersifat abstrak, maka impian lebih bersifat konkret. Lantas, samakah impian dengan mimpi? Tentu saja tidak! Impian hadir saat anda benar-benar sadar. Sementara, mimpi hanya hadir ketika anda tidak sadar. Memang, bahasa inggris saja kesusahan untuk membedakannya. Baik impian maupun mimpi, sama-sama dinamakan dengan dream.
Pertanyaak selanjutnya, pentingkah impian bagi seorang pelaku bisnis? Salah seoran mentor saya mengajarkan, seperti apa anda nantinya tidak ditentukan oleh keadaan anda saat ini, tetapi lebih ditentukan dengan impian anda saat ini. Dengan kata lain, impian itu tidak saja penting, tetapi sngat penting! Namun ironisnya, meski impian itu belum diperjualbelikan, alias masih gratis, betapa banyak betapa banyak pelaku bisnis yang tidak membekali diri dengan impian. Sadarlah, tampa impian, anda hanya akan berjalan di tempat. Dan tahukah anda bahwa itu berarti and ate;ah “berdosa” pada masa depan anda sendiri.

Meniikmati tangisan
Ketika masa sma dulu, saya sering pergi nonton film dengan teman-teman sekelas. Salah satu film lama yang masih membekas di benak saya adalah Analyze This. Terlihat di sana bagaimana gembong criminal yang gagah, tetapi malah menangis tersedu-sedu ti tengah suatu baku tembak antarmafia. Hm, pria kok cengeng? Barangkali itulah yang terlintasa di benak kita. Hm, jangan buru-buru menghakimi. Bisa jadi tangisan sesekali seperti ini adalah akar dari kekuatan, bukan kelemahan.
Di sini kita berbicara tentang power of crying. Tengklah kenyataan. Manusia-manusia yang menciptakan perubahan besar dalam sejarah hamper selalu pernah menangis, bahkan sering menangis. Dari birokrat, atlet, seniman, professional, hingga ulama sekalipun, semuanya sempa menangis. Konon, pelatihan-pelatihan yang sanggup membuat menangis sangatlah ditunggu-tunggu. Jadi, nothin’s wrong with crying. Jika ada yang menjadi masalah maka itu adalah apa yang kita tangisi. Ketika kita teringat impian-impian yang kita yakini, ketika kita teringat akan nilai-nilai yang kita percayai, ketika kita teringat orang-orang yang kita kasihi, dan ketika kita teringat akan kesalahan-kesalahan yang kita sesali, maka bukan mustahil menangis menjadi hal yang lumrah dan dan alamiah. Akan tetapi, kalaulah kita mengucurkan air mata karena kehilangan, kegagala, atau kebuntuan, maka itu adalah sinyal kegagalan. Kita harus malu karenanya!

“menangislah bila harus menangis.” Demikianlah cuplikan lirik dari dewa. Namun, bukan sembarang meneteskan air mata! Sejenak dan sesekali, menangislah demi impian-impian, nilai-nilai, orang-orang yang terkasihi, dan penyesalan-penyesalan. Percaya;ah, kita tidak pernah menjadilemah karenanya. Justru sebaliknya! Setelah itu, kita seolah-olah memperoleh suatu pencerahan, kelegaan dan kekuatan itu semua patut dinikmati.
Jika sepanjang hidup kita tidak pernah menangis satu kali pun, tidak menutup kemungkinan bahwa hati kita sudah mengeras. Betul-betul membeku, betul-betul membatu. Ujung-ujungnya hati yang keras ini dapat menjerumuskan kita untuk tidak lagi mengakui nilai-nilai, tidak lagi memedulikan orang – orang yang terkasih, dan tidak lagi merasakan penyesalan-penyesalan. Hal itu perlu kita waspadai!

Menikmati ketakutan
Sebagai penutup bab ini, saya ajak anda bercengkrama dengan skateboard. Kebetulan sewaktu kuliah di Malaysia, saya suka sekali memainkannya. Padahal tidak gampang untuk menguasai papan seluncur tersebut. Saya sendiri sudah berulang kali terjatuh, sehingga akhirnya terkilir bahkan terluka. Oleh karena cukup berbahaya, tidak mengherankan jika sedikit remaja yang memainkannya.

Menurut saya semasa itu, justru disitulah letak keseruannya. Semakin berbahaya, yah semakin seru! Iya ‘kan? Bersama dengan teman-teman, saya pun beraksi di berbagai tempat, dari kampus, jalan raya, pusat perbelanjaan, pokoknya di mana saja. Begitu tamat kuliah, skateboard pun saya tinggalkan. Akan tetapi, bagin saya, ada satu pelajaran yang tak terlupakan dari permainan skateboard. Saya jamin hal inisangat bermakna dan bermanfaat bagi anda sebagai pelaku bisnis. Apakah itu? Keberanian.

Dalam artian yang lebih jauh, keberanian di sini dapat ditafsirkan sebagai keberanian untuk mencoba, keberanian untuk mengambil risiko, dan keberanian untuk menghadapi kegagalan. Terus terang saja, kedewasaan usia terkadang membuat anda takut terhadap banyak hal. Berbeda dengn bayi. Ia malah berani melakukan apa pun. Padahal, modalnya Cuma dua, yaitu ketidaktahuan dan keingintahuan. Tentu saja anda sebagai pelaku bisnis tidak mesti senaif itu. Anda memerlukan perhitungan. Itu pasti!

Namun, perhitungan yang berlebihan juga dpat mengikis keberanian. Itu namanya kalah sebelum berperang! Parahnya lagi, perhitungan-perhitungan juga dapat mendorong anda untuk melakukan pembenaran-pembenaran atas kelemahan-kelemahan anda. Satu hal yang paling tidak saya sukai, terlalu banyak perhitungan akan memperlambat action. Lagi pula kegagalan tidak perlu disesali. Bukankah pepatah mengatakan, “kegagalan adalah sukses yang tertunda.” Jadi, untuk apa takut gagal?



Jurus 3: terjunlah seperti Rollercoaster

Menikmati kemerosotan
Anda pernah naik rollercoaster ‘kan? Saya pernah sewaktu kecil. Semantara itu, grup music Bon Jovi semapt berpesan di salah satu tembangnya, “life is like a Rollercoaster.” Hidup itu bagaikan Rollercoaster. Bermakna, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Saya piker-pikir perumpamaan itu ada benarnya, terutama dalam bisnis.

Bagi pelaku bisnis, maunya sih omzetnya dan astenya naik terus. Tidak usah diwawancarai, saya juga maunya begitu! Akan tetapi, tidak semuanya terjadi seperti yang kita kehendaki. Terkadang asset dan omzet kita merosot, bahkan meluncur sampai ke titik yang paling rendah. Jika sudah demikian, bangkrut pun bukan hal mustahil. Jadilah ini episode paling getir dalam perjalanan bisnis. Betul? Hm, tidak juga. Rupanya, layaknya setiap kejadian, ada hikmah di balik itu semua. Jadi, nikmati saja.

Pertama, kemerosotan itu akan menempa mental. Ketika kita mengalami kegagalan, pastilah orang-orang di sekitar kita akan menertawakan. Percayalah kepada saya, tidak akan ada yang bersedih, tidak aka nada pula yang menolong. Karena memang itulah peraturan tak tertulis di muka bumi ini. Nah, disinilah mental kita diuji! Apakah kita masih sanggup bertemu mereka dengan tetap menegakkan kepala? Kebanyakan sih tidak sanggup. Tetepi, bagi mereka yang bermental baja, ia akan tetap menegakkan kepala dan menjadikan ejekan itu xebagai cambuk motivasi bagi dirinya untuk bangkit kembali.

Kedua, kemerosotan layak dijadikan bahan pembelajaran. Dengan mengetahui akar penyebabnya, paling tidak kesilapan yang sama tak akan terulang, baik untuk bisnis tersebut atau bisnis lainnya. Toh, keledai, hewan yang dicap dungu, tidak pernah terperosok dua kali ke lubang yang sama. Keledai pun belajar dari setiap kesalahan.

Ketiga, kerendahhatian. Bayangkan apa jadinya jika semua upaya kita selalu membuahkan hasil? Salah-salah kita akan bergumam dalam hati, “Hei, lihatlah saya! Tak terkalahkan!” wah, ujung-ujungnya kita bisa menjadi mekhluk yang sombong. Dengan adanya kegagalan demi kegagalan, manusia bakal lebh rendah hati dan lebih dekat dengan Tuhan-nya.

Hikmah ke empat, sebagai entrepreneur saya paham betul bahwa kemerosotan tak ubahnya bagai bumbu dalam bisnis. Jika kita terus menerus berhasil, perjalanan bisnis kita akan terasa hambar. Lagi pula, bagaimana kita tahu sesuatu itu manis, apabila kita tidak pernah mencicipi sesuatu yang pahit sebelumnya? Sejenak coba anda perhatikan orang-orang yang telah sukses. Tatkala berkisah, mereka menceritakan masa-masa pahit mereka dengan penuh kebanggaan. Memang itulah bumbu kehidupan.

Hikmah yang terakhir, kreativitas pun turut terasah dengan andanya kemerosotan. Tentulah otak kita akan serta merta berfikir, “bagaimana dengan sumber-sumber yang tersisa dan tidak seberapa ini, saya bisa naik kembali?” tidak jarang, dengan sedikit kreativitas, turnaround energy akan malah melambungkan bisnis ke taraf yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Menikmati contekan
Pada bagian ini, saya mengajak anda untuk menikmati contekan. Tepatnya, menyibak beragam hikmah di balik mencontek. Apa saja, ya? Ternyata banyak juga. Mulai dari melatih keberanian sampai dengan merangsanh krteativitas. Belum lagi hal-hal sederhana seperti membiasakan calculated risk, memmbiasakan speed reading, dan membiasakan second opinion.

Nah, kalau mencontek di sekolah itu di larang, maka mencontek beyond school malah digalakkan.namun bukan sembarang mencontek, melainkan mencontek sesuatu yang worthed untuk di contek. Untuk lebih jelasnya, mari kita berkenalan dengan Cristian Dior, Piere Cardin, dan Jean Paul Gaultier.
Pertama-tama, mari kita lihat Jean Paul Gaultier. Ia lahir pada tahun 1952 di Prancis. Sebelum mengibarkan namanya, perancang yang identik dengan sentuhan street style ini ternyata pernah bekerja di studio desain milik Piere Cardin.

Sekarang mari kita lihat Piere Cardin. Ia lahir pada tahun 1922 di italia dan di besarkan di Prancis. Sepanjang hayatnya ia lebih dipandang sebagai pebisnis daripada sebagai desainer. Terbukti, namanya yang terkesan mentereng telah di lekatkan di lebih dari 600 jenis produk. Di manakah ia mengasah kemampuan desain dan bisnisnya secara professional? Salah satunya ketika ia menjabat sebagai pimpinan di studio desain Cristian Dior pada tahun 1946. 

Tiga tahun kemudian, barulah ia membangun usaha atas nemanya sendiri.
Terakhir kita lihat pula Cristian Dior. Ia lahir pada tahun 1905 di Prancis dan meninggal pada tahun 1957 di Italia. Hingga detik ini, namanya masih dikultuskan sebagai legenda dalam dunia fashion. Di manakah ia menimba ilmu merancang pakaian? Salah satunya ketika ia berkarier di fashion house-nya Robert Piquet pada tahun 1938. Delapan tahun kemudian, barulah ia mendirikan House of Dior.

Inilah yang saya maksud mencontek yang worthed untuk dicontek. Jean Paul Gaultier sempat meniru Pierre Cardin. Pierre Cardin sempat meniru Cristian Dior. Cristian Dior sempat meniru Robert Piquet. Yah, mau diapain lagi, sudah menjadi kodrat menusia meniru manusia-manusia sebelumnya. Walaupun Cuma satu persen. Di sini saya tidak bercerita tentang meniru rancangan.

Melainkan meniru jejak langkah atau semacamnya.
Begitu pula dengan anda. Jika anda berhasrat untuk membuka kafe, maka bekerja di FB-nya hotel berbintang adalah awal yang bijak. Jika anda berhasrat untuk menjadi pemasok spare-part mesin tertentu, maka berkarier di perusahaan Mukakuning (satu kawasan industry di Batam) adalah awal yang bijak. Jika anda berhasrat untuk membuka kursus, maka berprofesi sebagai dosen di kampus adalah awal yang bijak. Mengapa? Percayalah, di tempat-tempat sedemikian, anda dapat mencontek sesuatu yang worthed untuk dicontek. Yah, sebagai bekal untuk masa depan anda.

Saya pribadi, setelah sekian lama mencontek, sempat merenung, “Di manakah saya mendapat contekan yang paling berharga?” kemudian batin saya menjawab, “Contekan paling berharga justru berada dalam diri sendiri.” Tepatnya, pengalaman pribadi. Tidak ada contekan yang kebih berharga daripada itu



Jurus 4: Berdamailah dengan Badai

Menikmati penyakit
Tidak lama lagi anda akan menjajal jurus ke empat, yang merupakan jurus paling langka. Untuk itu kita ke Filipina sejenak. Akhir November 2006, ketika berada di sana, saya bersama rekan-rekan diundang untuk dinner oleh pengusaha setempat Oliver Laparal (87) dan abangnya (91) di rumah pribadinya. By the way, pada zaman Marcos berkuasa, Oliver sempat menjadi seorang konglomerat yang sangat jaya di negaranya.

Di mata saya, yang paling menggelitik justru kesehatannya, bukan kekayaannya. Mereka berdua tampak sehat-sehat saja-tanpa tongkat, tanpa kaca mata-meski terhitung sudah S3 alias Sudah Sangat Sepuh! Yah, siapapun maklum, panjang umur dan bugar sekaligus sungguh bukan perkara yang gampang. Memang, Oliver dan abangnya menyimpan “sakit tua”, tetapi tampaknya mereka berhasil me-manage-nya.

Keesokan hari, diprediksi Filipina akan dihantam badai. Repotnya, saya harus berada di Manila selama seminggu. Was-was juga! Bayangkan saja, meskipun malam hari, namun saya saksikan sendiri langit sempat berona merah! Itu pertanda bahwa badai akan segera melanda. Untunglah, badai yang diperkirakan melewati Manila ternyata melintasi kota lain. Akibat bencana tersebut, kerugian materi dan jiwa pun tak terelakkan di daerah tertentu. 

Musibah itu terjadi pada awal desember 2006.
Anehnya, menjelang badai, masyarakat Filipina malah kalem dan adem-ayem. Tidak panic. Aneh? Hm, tidak juga. Inilah yang saya meksud berdamai dengan badai. Setidak-tidaknya dengan teknologi saat ini, yah, badai adalah suatu fenomena alam yang rutin terjadi di wilayah subtropics seperti Filipina.
Jadi, mau tidak mau, apa yang dapat dilakukan ialah hidup bersama badai. Dalam artian lebih jauh, meminimalkan dampak dari badai tersebut. Persis seperti jepang dengan gempa buminya. Istilah yang sering saya pakai dalam seminar-seminar saya, “not avoid the problem, but live with the problem.” Percaya atau tidak, inilah jurus sakti mandraguna untuk survive dan sustain. 

Baik dalam bisnis, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi orang-orang yang berusia di atas 50 tahun, penyakit pada beberapa oargan tubuh adalah sesuatu yang lumrah dan alamiah. Katakanlah, sakit jantung, asam urat, diabetes dan lain-lain. Mau dihilangkan, ah, mana mungkin? Adalah masuk akal hidup bersama penyakit tersebut. Realistis sajalah! Maksudnya, me-manage penyakit itu agar tidak bertambah parah dan tidak memengaruhi organ lain. Bayangkan jika mereka khawatir sepanjang hari. Bisa jadi, kesehatan mereka malah memburuk. Pasti itu!

Perusahaan juga tidak jauh beda, terutama perusahaan besar. Berdasarkan pengalaman karier saya di dalam dan di luar negeri, juga pengalaman saya yang memberikan monsultasi di berbagai perusahaan, ada orang-orang tertentu yang jelas-jelas bermasalah. Parahnya, karena satu dan lain hal, orang-orang ini tidak dapat disingkirkan dari posisinya seketika. (idealnya, tentu saja disingkirkan. Ibaratnya, mereka adalah apel busuk dalam keranjang.) Lha, mau diapain lagi? Ya sudah, terima saja! Hanya, pastikanlah orang-orang ini tidak menambah masalah bagi organisasi. Cuma itu!

Menikmati kelemahan
Sebuah harian ibu kota dalam sebuah edisinya memasang foto irawan, seorang pemuda berumur 21 tahun, sedang berdiri di pinggiran jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Di dadanya terpampang sebuah karton bertuliskan, “ibu sakit, butuh biaya. Siapa yang butuh ginjal, saya bersedia donor.”rencananya, hasil penjualan ginjal itu akan digunakan untuk membiayai operasi ibunya yang sedang dirawat di RSCM karena menderita kanker payudara. Pemuda ini rela kehilangan ginjal demi sang Ibu.

Ahmad Junaidi, beritanya dimuat di sebuah media massa, adalah seorang polisi pengatur lalulintas yang sangat rajin. Ia turun ke jalan setiap pagi dan sore hari. Pada saal lalulintas tengah padat-padatnya. Ia dengan ikhlas mengatur lalulintas tanpa meminta imbalan dari para pengemudi. Ia menikmati hidupnya. Ternyata Ahmad Junaidi bukanlah seorang polisi sungguhan, melainkan hanya seorang pemuda yang mengenakan seragam mirip polisi dan bergerak dengan kursi rodanya. Dia memang sudah cacat sejak lahir.

Terlihat jelas bagaimana mereka berdua sempat didera dengan cobaan-cobaan yang berat. Sangat berat malah! Apakah itu cacat tubuh maupun musibah kehidupan. Namun, toh mereka masih mampu berbuat sesuatu yang berarti bagi diri sendiri atau untuk sesama. Jangan pernah mengeluhkan apa yang tidak kita miliki, lebih baik kita mengerahkan apa saja yang kita miliki!
Lantas, bagaimana dengan anda, yang kebanyakan memiliki tubuh yang normal dan kehidupan yang normal pula? Pernahkan anda berbuat sesuatu yang signifikan untuk diri Anda sendiri atau untuk orang-orang di sekitar anda? Apabila anda menggelengkan kepala, kembali saya bertanya kepada anda, “kok anda tidak mampu, sementara mereka mampu?” mungkin jawabannya Cuma satu, Anda tidak mempunyai passion, sedangkan mereka punya.



Jurus 5: Duduklah Sama Rendah

Indahnya Cinta
Selama ini jamak diketahui, kekuatan cinta itu teramat dahsyat. Dengan cinta, orang rela berbagi bahkan berkorban apa saja. Akan tetapi dengan cinta pula, orang dapat membenci, bahkan membunuh. Cinta juga dapat mengelabui. Coba saja telisik kisah Romeo dan Juliet. Hampir seluruh penjuru bumi menobatkannya sebagai kisah cinta yang sejati. Orang hamper-hampir tidak percaya bahwa cerita itu sebenarnya tidak pernah terjadi! Itu hanya fiksi, buah pena dari sastrawan Inggris William Shakespeare. Namun hal tersebut sekaligus mengisyaratkan betapa universalnya cinta itu sendiri.

Ketika anda sudah mencintai bisnis anda, maka anda tidak akan kepikiran lagi untuk menyia-nyiakan, apalagi meninggalkan bisnis tersebut. Alih-alih menelantarkan, malah anda akan bersikap penuh hormat, penuh perhatian dan penuh tanggung jawab atas bisnis anda. Teringin pula Anda mengetahui lebih banyak lagi.

Kesimpulannya, cinta itu memang indah. Mencintai itu memang lumrah. Akan tetepi tidaklah boleh anda semata-mata mengatasnemakan cinta untuk melegalkan atau menghalalkan segalanya. Tak pelak lagi, kuncinya adalah kepekaan nurani. Bahkan, tanyakan terlebih dahulu kepada Yang Maha 
Menaburkan Cinta di hati setiap manusia. Apa kata-Nya? Apa pula kehendak-Nya?

Indahnya kebersamaan
Pernah dengar team in love? Team in love tidak lain adalah sebuah yang kaya akan unsur-unsur cinta. Yaitu hormat, perhatian, tanggung jawab, dan pengetahuan. Kisah tentang team in love konon berasal dari seekor kuda yang mampu menarik beban seberat dua ton. Sekali lagi, hanya dua ton. Kemudian berapa ton yang mungkin diangkut oleh dua ekor kuda? Empat ton? Enam ton? Atau sepuluh ton? Percaya atau tidak, ternyata dua ekor kuda sanggup menyeret beban seberat 23 ton! Di situlah letak keampuhan sebuah tim.

Lihatlah angsa! Mereka adalah makhluk yang lemah. Namun, dengan membentuk formasi ‘V’ dan terbang mengelompok, mereka bahkan sanggup menembus badai sekalipun. Ternyata, suara-suara yang mereka keluarkan menjadi seruan pembangkit semangat di antara mereka. Nah, di sinilah letak kedahsyatan suatu tim. Namun, kebanyakan tim penjualan adalah kumpulan individu yang saling sikut, saling menelikung, dan saling menjelekkan. Pokoknya tidak ada kekompakkan sama sekali!

Coba bayangkan yang sebaliknya! Salesman Andi berbicara sesuatu yang positif tentang rekannya di depan prospek, “saya salut dengan Bobby, pak! Setiap kali bertemu dengan pelanggan, ia senantiasa menunjukkan sikap empati. ” sementara salesman Bobby berbicara sesuatu yang positif pula soal Andi di depan prospek yang lain, “Wah, saya kagum pada andi, Bu! Dia memiliki komitmen yang total terhadap pelanggan.” Lalu, apa yang terjadi? 

Saya jamin catatan penjualan mereka berdua akan melambung gila-gilaan melampaui kolega-kolega mereka yang saling menjelek-jelekkan. Kok bisa? Jawabannya tentu bumbu penyedap yang mereka sebarkan. Tak ayal lagi, itu menjadi promosi silang di antara mereka.



Jurus 6: Gantilah Gelar dan Jabatan

Cara gila meraih gelar
Orang Indonesia ini gila gelar. Ah, apa ia hanya orang Indonesia? Ternyata sindrom ini juga merasuk dan merusak segenap penjuru bumi, termasuk negara adidaya layaknya Amerika Serikat. oleh karena memang banyak peminatnya, walhasil penjaja gelar secara illegal pun berkembang-biak bak hewan ternak. By the way, gelar mereka, mulai dari akademisi, professional, hingga birokrat. Bahkan gelar “haji” pun turut jadi incaran (padahal Nabi Muhammad saja tidak pernah memamerkan gelar tersebut meskipun beliaulah manusia yang paling sempurna melaksanakannya).

Terlepas dari itu semua, MBA temasuk gelar yang favorit, ngalah-ngalahin gelar MM. Padahal kedua-duanya setara. Kesannya gimana gitu. Pokoknya lebih apik, lebih menarik! Terus, bagaimana dengan PhD? Wah, ini mantap juga! Terkadang lebih digandrungi ketimbang Dr.
Cuma ada satu hal yang mengganjal pikiran saya, kok malah pihal lain-seperti kampus, agama, pemerintah, dan masyarakat-yang selalu memberikan gelar kepada diri kita? Mbok ya sekali-kali kita yang memberikan gelar kepada diri kita sendiri. Dan inilah cara yang paling gila untuk meraih gelar!

Tahun 2005 yang lalu saya menganugerahkan kelar PhG kepada diri saya sendiri. Lengkapnya Ippho Santosa, PhG. Wah, nyaingin gelar PhD dan MM, ya? Salah besar! PhG tidak lain adalah Pengusaha Gila. Namun, jangan buru-buru menuding saya orang sableng dan gendeng lho! Toh, saya tidak sendiri. Buktinya, motivator Andrie Wongso juga punya predikat SDTT TBS alias Sekolah Dasar Tidak Tamat Tetapi Bisa Sukses.

Cara gila memilih jabatan
Seorang penjual produk perbankan akan memanggil dirinya Account Executive. Seorang penjual produk perumahan akan menyebut dirinya Property Agent. Seorang penjual produk kedokteran akan mengklaim dirinya Medical Representative. Seorang penjual produk kecantikan akan mengaku dirinya Beauty Consu;tant.
Dan masih banyak lagi gelar-gelar yang lain. Padahal jelas-jelas mereka semua adalah salesman atau salesforce- tanpa terkecuali! Akan tetapi, pernahkan anda mendengar mereka menyapa, “Selamat siang, Pak! Perkenalkan, saya Anton, salesman dari perusahaan asuransi.” Mustahil sapaan itu terdengar di planet ini. Dan tahukah anda, biang masalahnya adalah malu! Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, boleh-boleh saja job tittle Anda otak atik. Mungkin karena latar belakang organisasi, keluwesan tanggung jawab, persepsi masyarakat dan lain-lain. Namun, satu hal yang pasti, jangan pernah anda merasa enggan-apa lagi malu-mengaku sebagai seorang salesman. Malah, mestinya anda bangga. Karena salesman itu menyandang keunggulan-keunggulan tersendiri.
Bukankah salesman itu kaya akan relasi? Bukankah salesman itu terlatih menangani ketidakpastian? Bukankah salesman itu mengantongi income berdasarkan transaksi, bukan berdasarkan gaji semata? Semua keunggulan tersebut tidak akan dirasakan oleh mereka yang berkutat di bidang lainnya.

Cara gila menyapa pelanggan
Bagian penutup untuk bab ini, saya buat di atas pesawat Singapore Airlines. Ketika dalam perjalanan menuju Hong Kong, cuaca sangat buruk. Untunglah SQ menyediakan TV pribadi, handuk hangat, selimut,dan bantal, sehingga kegelisahan dan keresahan penumpang pun sedikit diredam karenanya.

Sejenak saya teringat pada saat check-in di bandara Changi beberapa jam sebelumnya. Kala itu saya disapa oleh seorang staf dari SQ di konter, “Pak, bagasinya ada nggak?” perhatikan kalimat barusan baik-baik. Apakah mungkin seorang Melayu Singapura melontarkan kalimat khas Insonesia sedemikian rupa? Rasa-rasanya sih tidak mungkin. Pasti ada alasan di balik kitu. Ya, apa lagi kalau bukan untuk membuat si pelanggan merasa homy dan cozy. Ya akrab, ya hangat!

Konon, sabuah call centre di Bangalore India yang karyawannya juga orang-orang India, mampu menyapa dan menjawab pertanyaan pelanggan-pelanggan dari seluruh penjuru bumi dengan beragam aksen, mulai dari aksen Amerika, kanada, inggris, dan lain sebagainya. Dan asal tahu saja, mereka sungguh-sungguh dilatih untuk itu.

Nah, jadi, kesimpulannya sapaan itu krusial. Amat krusial malah. Namun, bukan sembarang sapaan. Selain penuh hospitality dan customization, sapaan juga harus mamatuhi ketepatan nama. Pokoknya, error-free setiap abjadnya!



Jurus 7: Masuklah ke Surga Paling Dulu

Jadilah penjual
Mengawali bab ini, saya ajak Anda mengingat-ingat kembali hukum kekekalan energy yang pernah diajarkan di bangku sekolah. Tahu tidak, uang juga bekerja seperti itu? Maksudnya, uang tidak pernah musnah! Uang hanya berpindah! Apakah ke kantong orang lain, ke bank yang lain, atau ke negara yang lain.

Dalam kitab saja dituliskan bahwa 90% rejeki itu berasal dari berjualan. Nah, jika kita sudah mulai berjualan sejak lama, maka dari penjual maka akan naik level menjadi pengusaha. Tetapi, tahukah anda, ada beberapa persamaan antara penjual dengan pengusaha. Apa itu? Pertama, baik penjual maupun pengusaha sering ber-networking dan deal langsung denga pasar. Sesuatu yang jarang dialami oleh mereka yang tidak terjun dalam bidang penjualan. Selain itu, penawaran produk kepada konsumen pun tidak asing lagi bagi penjual dan pengusaha.

Berikutnya, mari kita amati risikonya. Penjual mana yang tidak pernah ditolak? Pengusaha mana yang tidak pernah jatuh? Dengan kata lain, ketidakpastian sudah menjadi makanan sehari-hari penjual dan pengusaha. Persamaan yang terakhir, baik penjual maupun pengusaha dikondisikan untuk memperoleh income berdasarkan transaksi, bukan berdasarkan gaji semata.

Apakah anda melihat apa yang saya lihat? Batapa salesmanship itu berkorelasi positif dengan entrepreneurship! Nah, dengan adanya persamaan-persamaan tersebut, mestinya tidaklah ruwet bagi seorang penjual berpindah kuadran, dari kuadran kiri ke kuadran kanan. Dari pekerja menjadi pengusaha. 

Satu-satunya yang dibutuhkan oleh penjual adalah kenekatan untuk mengundurkan diri dan merintis bisnis sendiri. Hanya itu!
Jadilah pengusaha

Lagi pula, menurut saya, menjadi pengusaha itu hampir-hampir wajib hukumnya! Sebenarnya terdapat segudang manfaat di balik entrepreneurship. Pertama, alih-alih mencari lowongan pekerjaan, pngusahan malah membuka lapangan kerja bagi khalayak. Asal tahu saja, seorang pengusaha yang berpengalaman mampu mengaryakan belasan hungga puluhan orang. Yah, paling tidak, ia membuka kesempatan kerja untuk dirinya sendiri. Bagi Anda yang berkarier, begitu anda mengundurkan diri dan menjadi pengusaha, maka posisi yang anda tinggalkan bisa diisi oleh orang lain. Dengan kata lain, anda telah memberikan peluang kerja kepada sesame. Mulia bukan?

Manfaat kedua, dengan menjadi pengusaha, pendapatan kita tidak lagi dipatok. Pendek kata, pendapatan kita akan lebih besar. Lazimnya semakin besar pendapatan seseorang, semakin besr pula sumbangannya. Lihatlah di sekitar anda. Tidak terkira jumlah sekolah, kampus, rumah sakit, dan tempat ibadah yang dirintis oleh pengusaha. Itu bukan Cuma mulia, tetapi sangat mulia!

Manfaat selanjutnya, dengan menjadi pengusaha, kita memiliki keleluasaan waktu. Berkumpul dengan keluarga? Bisa. Jalan bareng teman? Bisa. Termasuk keleluasaan beribadah. Itu artinya, tuhan pun turut melihat kita menjadi pengusaha. Selain itu, dangan adanya keleluasaan waktu, kita juga bisa menggali dan mengasah potensi diri. Tidak sedikit orang yang dianugerahi kelebihan yang menakjubkan dan mengejutkan, namun ia tidak pernah menyadarinya bahkan sengaja melupakannya, lantaran ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sayang ‘kan? Siapa tahu anda menyimpan bakat sebagai penulis buku, perancang busana, pencipta lagu, dan masih banyak lagi.

Pokoknya begitu banyak menfaat dari entrepreneurship. Itulah perbedaan nyata antara kuadran kanan dengan kuadran kiri. Makanya saya berani mengemukakan, menjadi pengusaha itu hamper-hampir wajib hukumnya!

Jadilah Pemimpin
Dalam usia yang masih 20-an, John Schnatter sudah mulai berwiraswasta dengan membuka toko pizza. Ketika harus memilih merek, ia lebih suka mengusung namanya sendiri, yakni John. Jadilah Papa John’s pada tahun 1984. Saking tenar dan terkenalnya, di Indonesia merek ini ditiru menjadi Papa Ron’s. berkat ngeyel dan ngengkel, ia berhasil membuka cabang menjadi 46 outlet pada tujuh tahun petama. mangagumkan? Namun itu belum seberapa. Justru yang paling mengesankan adalah apa yang terjadi pada tujuh tahun berikutnya, ketika jumlah outletnya melonjak secara eksponensial menjadi lebih dari 1600 unit! Wow, luar biasa!

Selain itu, rata-rata penjualan per outletnya bahkan sanggup mengalahkan nama-nama besar layaknya Pizza Hut, Domino’s, dan Litlle Caesar’s. kok bisa sehebat dan sedahsyat itu, ya? Ternyata John Schnatter cukup lihai dan piawai dalam memimpin. Hanya itukah? Tidak juga, dia tidak sembarang memimpin. Dia memimpin para pemimpin. Tidak kurangk figure-figur kelas satu seperti Wade Oney, Blaine Hurst, Robert Waddell, dan lain-lain yang digandengnya.

Lantas, bagaimana caranya? Pertama-tama, bentuklah sebuah tim. Kedua, lantiklah anggota tertentu sebagai leader untuk menggerakkan anggota yang lainnya. Bukankah leader yang bijak adalah leader yang bisa menciptakan para leder di bawahnya? Idealnya begitu. Inilah yang disebut dengan Hukum 
Reproduksi Kepemimpinan. Ketiga, berdayakanlah mereka semua. Dengan demikian, pada akhirnya, kendali tidak lagi terpusat pada diri anda. Di sini nama permainannya adalah empowerment, di mana wewenang telah anda 
percayakan dan titipkan pada mereka.

Sekali lagi, untuk tumbuh secara dramatis dan fantastis, seorang leader harus sanggup memimpin para leader. Ingatlah, a great business needs a great leader. dengan One-man show, anda sebagai pelaku bisnis hanya akan mencetak skor penjualan-katakanlah-10 unit. Padahal, dengann menjadi seorang leader, anda bisa mengumpulkan skor 100 unit.

Kembangkan usaha
Tidak perlu bertele-tele. Selama ini, ada dua scenario dalam pengembangan usaha. Pertama, bisnis anda laku terlebih dahulu, kemudian barulah anda membuka cabang di mana-mana. Kedua, anda langsung membuka cabang di mana-mana, tanpa menghiraukan apakah bisnis laku atau tidak. Gila tuh! Sama sekali tidak. Dengan adanya cabang di mana-mana, bisnis anda akan terkesan laku.

Nah, scenario pertama sering ditulis di buku-buku bisnis dan-tentu saja-sering pula dijalani oleh pelaku-pelaku bisnis. Bagaimana dengan yang kedua? Anehnya, kendati sangat jarang dibahas di buku-buku bisnis, namun scenario yang kedua cukup sering ditetapkan oleh pelaku-pelaku bisnis.
Katakanlah, vbisnis restoran. Semestinya, hidangan yang lezat yang membuat orang-orang berkunjung dan mobil-mobil berjejer-jejer. Namun, tidak ada salahnya jika skenarionya dibalik. Missal, usahakanlah restoran anda tampak penuh dengan orang-orang yang antre dan mobil-mobil yang parker. Sehingga masyarakat beranggapan, “Wah, pastinya masakan di restoran itu enak sekali. Buktinya, banyak yang datang ke sana.” Pada akhirnya, restoran anda akan ramai dengan sendirinya. Yah, setidak-tidaknya untuk permulaan.



Jurus 8: Biarkan Kudeta Terjadi

Nama dan Identitas Pembeda
Tahukah anda, atau kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh malaikat? Konon, malaikat sempat terkagum-kagum manakala adam pertama kali menunjukkannya. Bahkan kelebihan ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa manusia-bukan malaikat atau yang lainnya-yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Ternyata, manusia mampu memberi nama untuk segala sesuatu.

Tanpa anda sadari, mayorita umat beragama-terutama islam dan Kristen-menjunjung tinggi arti sebuah nama. Seorang muslim yang saleh akan menempatkan nama itu sebagai permohonan doa, manakala seorang nasrani yang taat menganggapnya lebih berharga daripada harta yang berlimpah.
Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa menyandang nama yang alami tidak secara otomatis menjadikannya merek yang sejati. Keduanya adalah dua hal yang berbeda. Nah, apabila anda berminat dan berhasrat untuk mengubah nama yang alami menjadi merek yang sejati, berarti metamorphosis menjadi satu proses yang tak terelakkan. Memang, tidak segampang kecebong, karena metamorfosis yang ini membutuhkan waktu yang lebih lama-bahkan tidak mengenal batas waktu.

Apakkah manfaat konkretnya? Dengan berbekal merek, berarti anda telah mewartakan satu identitas yang unik kepada konsumen. Dengam demikian, pada akhirnya konsumen mampu membedakan produk Anda dengan pesaing dan mudah mencarinya. Secara keseluruhan, itu akan mengurangi risiko bagi konsumen.

Nama dan Nilai Komersial
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “apalah arti sebuah nama.” Mungkin hal ini ada benarnya, tetapi saya sangat tidak setuju dengan pepatah tersebut. Kalau menurut saya, pepatah yang benar itu, “sungguh berarti sebuah nama.” Dalam dunia bisnis, nama sebuah merek sangatlah berarti. 

Memang, untuk mengurusinya perlu biaya dan waktu yang cukup menyita, seperti registrasi dan pajak, memang itulah konsekuensi dari sebuah merek. Di samping itu, merek yang bersinar juga akan memancing perhatian pesaing. Nah, itulah kabar buruk tentang merek.

Tetapi, walaupun terdapat beberapa kerugian, kita akan mendapat belasan manfaat dari pembuatan merek. Bukankah dengan terdaftarnya merek, anda dapat mengurangi risiko menjiplak hingga 60%? Bukankah dengan wujudnya sebuah merek, Anda merkesempatan untuk mengeksposnya? Lagi pula, adakah bisnis yang sanggup mendunia tanpa merek? Setahu saya, tidak ada! 

Kecuali bisnis illegal! Belum lagi, apabila merek tersebut sudah menjelma menjadi merek yang kuat. Dan inilah manfaat yang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis manapun. Maksudnya? Meningkatnya nilai komersial (dan margin tentunya.) komoditas seperti apel, tepung, kopi, atau air sekalipun bisa dijual lebih mahal, asal ditempelkan merek sekuat Washington, Bogasari, Kapal Api, dan Evian di kemasannya.

Begitulah, nama itu penting! Teramat penting, malah! Pada awalnya, pelaku bisnis memfungsikan nama itu sebagai identitas pembeda. Kemudian barulah pelaku bisnis me-manage nama alami tersebut menjadi merek sejati, supaya memancarkan nilai komersial tersendiri. Yah, memang demikianlah seharusnya.

Nama dan manfaat lainnya
Selain berperan sebagai identitas pembeda dan nilai komersial, merek juga berimbas langsung terhadap penjualan. Terutama merek yang kuat. Hanya itukah manfaatnya? Tenang, masih banyak manfaat lainnya. Pertama, besarnya loyalitas konsumen. Kedua, kebalnya perusahaan terhadap persaingan dan krisis. Ketiga, solidnya dukungan orang tengah. Keempat, mulusnya proses komunikasi pemasaran. Kelima, terbukanya peluang lisensi dan perluasan merek. Dan masih banyak seabrek manfaat lainnya.

Ini semua jelas-jelas menguntungkan si empunya merek. Betul begitu? Meskipun saya tidak melihat anda mengangguk, tetapi saya yakin anda sependapat dengan saya. Memang, manfaat-manfaat tersebut tidak dapat dituai dalam waktu singkat. Jadi, bersabarlah dan terus berusaha!



Jurus 9: Waspadai Zaman Edan 
Positivity di Tengah Persaingan Pada bab ini anda akan menjadi saksi perseteruan antara tiga besar, yakni Scott Paper, Kimberly-Clark, dan Procter & Gamble (P&G). Begini ceritanya. Pada awalnya, Scott menguasai produk berbasis kertas, pemain lainnya adalah Kimberly. Nah, pada akhir tahun 1960-an, P&G mulai merambah produk berbasis kertas. 

Kemudian, bagaimana reaksi Scott? Melihat reputasi P&G yang tak terkalahkan, mereka malah merasa kalah dan menyerah. Tanpa perlawanan, mereka pun mundur teratur dari posisi nomor satu. Bagaimana pula dengan Kimberly? Dalam satu rapat internal, direktur Kimberly pernah berkata, “Marilah kita berdiri, menundukkan kepala dan diam sejenak.” Menghadapi suasana mengheningkan cipta seperti itu, hadirin pun bertanya-tanya dalam hatinya, “Oh, siapa yang meninggal, ya?” setelah hening beberapa saat, sang direktur mengangkat kepalanya dan berujar dengan nada sedih, “rekan-rekan sekalian, itu adalah untuk P&G!” suasana di ruangan itu pun langsung heboh! Secepat angin, optimism dan rasa percaya diri si direktur membakat semangat bawahannya. 

Memang, mindset first, then strategy berlaku dalam segala aspek. Positivity itu pun menggelora terus menerus. Terbukti, 25 tahun kemudian Kimberly berhasil mengambil alih Scott sepenuhnya dan mengalahkan P&G dalam enam dari delapan produk. Sungguh mengagumkan! Padahal sebelumnya, di pasar, Scott adalah jawara dan Kimberly tidak ada apa-apanya. Namun, tatkala diusik oleh raksasa seperkasa P&G, Scott malah berpikir negative. Sebaliknya, Kimberly justru berpikir positif-dalam artian lebih optimis serta lebih percaya diri. Untuk dapat berpikir dalam kerangka yang positif secara total, ada tiga tahapan yang mesti dilalui. 

Pertama-tama, cobalah berpikir positif kepada Yang Maha Kuasa. Artinya, kita sungguh-sungguh percaya bahwa apa saja yang kita alami adalah pemberian Tuhan yang terbaik bagi kita. Langkah kedua, cobalah berpikir secara positif terhadap diri sendiri. Di tangan-Nya, tak diragukan lagi, segala sesuatu adalah mungkin. Dan yang terakhir, sepenuh hati saya berharap, sebagai pelaku bisnis, jangan pernah sekalipun ande meremehkan visi dan potensi anda. Jika terlintas di benak anda sekali saja bahwa sesuatu itu tidak mungin, maka percayalah sesuatu itu akan benar-benar tidak mungkin terealisasi. 

Positivity di Tengah Zaman Edan 
Mungkin anda merasa heran, kenapa saya sebut dangan zaman edan? Karena semua berjalan dengan berbalik arah. Dalam zaman edan ini, ada setidaknya lima tren bisnis yang dapat ditelusuri. Pursuit for Spirituality, itulah tren bisnis yang pertama. Konon pada zaman nabi, spesies manusia adalah makhluk spiritual. Namun, sepeninggal nabi, perlahan-;ahan spesies ini menjelma menjadi makhluk rasional. Tidak cukup sampai di situ! Seiring perjalanan waktu, spesies manusia berubah lagi, dari makhluk rasional menjadi makhluk emosional. Proses inmi masih terus berlanjut. Anehnya, memasuki mileniium kedua prosesnya seolah-olah berbalik arah. 

Spesies manusia malah kembali menjadi makhluk spiritual. Setidak-tidaknya, spesies manusia mulai kangen sentuhan-sentuhan spiritual, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbisnis. Tren bisnis yang kedua tidak lain ialah Societal Marketing, yang merupakan turunan dari Pursuit for Spirituality. Dahulu, sembari menjalankan usahanya, seorang pedagang amat peka dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Piker si pedagang, “jangan sampai saya mengotori lingkungan, jangan sampai saya mengganggu masyarakat.” Begitulah kira-kira. Kemudian, tibalah Revolusi Industri. Lalu, gampang ditebak, perkara-perkara tersebut pun terabaikan. Nah, bagaimana dengan lima tahun terakhir? Tanpa disangka-sangka, semuanya malah berjalan berbalik arah! Atas nama Social Marketing, di samping dituntut untuk menjaga integritasnya, kini pelaku bisnis juga didesak untuk melek akan lingkungan dan masyarakat di sekelilingnya. Tren bisnis yang ketiga adalah People Power. 

Sebelum Revolusi Industri, missal seorang konsumen membutuhkan sebuah kemeja. Apa yang perlu ia lakukan adalah mendatangi penjahit kenalannya-nukan toko pakaian, karena belum lazim kala itu. Si penjahit pun dengan senang hati menyambut dan melakukan tawar-menawar harga. Kemeja pun jadi dengan ukuran, rancangan, dan warna yang dikehendaki konsumen. Ada empat kata kunci di sana, yaitu layanan perorangan, kesepakatan harga, produk kkhusus, dan cerita dari mulut ke mulut. Kemudian, setelah Revolusi Industri mulai datang, semua fenomena tersebut lenyap! Dan tidak ada lagi layanan perorangan. Semuanya serba ditentukan secara sepihak oleh pabrik demi setu-satunya tujuan, yakni produksi secara masal, tidak memikirkan apakah konsumen suka atau tidak suka. Lha, dewasa ini apa yang terjadi? Segalanya justru berjalan berbalik arah. Inilah masa ketika konsumen dianugerahi kekuatan yang luar biasa. Lantaran tumpah ruahnya informasi dan pilihan. 

Tren bisnis yang ke empat adalah Pursuit for Simplicity. Dulu, waktu luang yang tersedia amatlah banyak. Barang yang tersedia sangatlah sedikit. Walhasil, konsumen memilih sesuatu yang sederhana karena mwmang hanya itulah yang ada. Lima tahun belakangan ini, yang terjaadi justru sebaliknya, waktu luang yang tersedia amatlah sedikit. Barang yang tersedia sangatlah banyak. Terus, apa yang menjadi preference konsumen? Ternyata, konsumen tetap menyukai sesuatu yang sederhana. Dengan perilaku konsumen seperti itu, maka tantangan bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menjadikan kesederhanaan itu sebagai suatu keunikan. Tren bisnis ke lima adalah Positivity Insurrection. Indicator-indikator ekonomi nasional, layaknya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat investasi, tingkat pengangguran, dan lain-lain, tidak satu pun menunjukkan digit yang terlalu stimewa. Lalu, apakah itu semua mampu melunturkan semangat pelaku bisnis? Akhir 90-an itulah yang menghantui masyarakat Indonesia. Akan tetapi, belakangan ini yang terjadi justru sebaliknya, pelakubisnis tidak lagi memusingkan apa-apa yang tidak bisa ia kendalikan. Mereka malah memusatkan perhatian pada apa-apa yang bisa ia kendalikan. Sebenarnya pola piker mereka sederhana saja, positifkan yang negative! Ujung-ujungnya, roda bisnis pun kembali berputar.



Jurus 10: Matilah dengan Tenang

CompassionUntuk menggapai sukses,seorang individu hendaklah menyandang dua bekal yang saling bertolak belakang. Yaitu compassion dan passion. Passion berkaitan dengan tingginya cita-cita, bulatnya tekad, nomor-satunya ikhtiar, dan militannya aktivitas. Sebaliknya, compassion erat hubungannya dengan kerendahan hati, keikhlasan untuk berbagi, keengganan untuk menyakiti, dan kerelaan untuk mengalah .Dari segi kepribadian dan perilaku, barangkalil sosok yang passionate akan tampak begitu koleris. Manakala sosok yang compassionate akan terlihat begitu plegmatis. 

Bukankah Tuhan memang sengaja menciptakan segala sesuatunya saling berlawanan, namun saling berpasangan? Jadi, nothing’s wrong with contradiction! Tidak ada yang salah dengan Passion dan compassion. Namun, ironisnya, hanya 10% figur yang dilengkapi dengan Passion dan compassion sekaligus, semisal Konosuke Matsushita (pendiri panasonic), Sudhamek (CEO Garuda Food), dan Bung Hatta (Proklamator republic ini).CharityPuspo Wardoyo, ppendiri Wong Solo pernah mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan bisnisnya terletak pada kesediaannya untuk berderma (charity) dan jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 30% dari laba. Padahal, agama saja menganjurkan dan mengajarkan 2,5% hingga 10%.Mungkin anda akan bertanya-tanya, apa sebenarnya korelasi antar berderma dengan keberhasilan berbisnis? Pertama, melalui pendekatan spiritual. 

Pendekatan ini lebih menekankan pada keberadaan hidden stakeholder. Siapa itu hidden stakeholder? jawabannya tidak lain adalah Yang Maha Kuasa. Umat beragama mana pun percaya, hidden stakeholder inilah yang membalas setiap amalan, termasuk balasan bagi mereka yang menyumbang.Kedua, memalui pendekatan rasional. Begini, sebenarnya setiap kali kita memberi, maka pada waktu yang sama kita akan membuang “energy negatif” keluar dari diri kita, sekaligus menghimpun “energy positif” ke dalam diri kita. Anda tidak percaya? Coba saja perhatikan, selepas menyumbang, ada semacam perasaan plong kemudiaan akumulasi “energi positif” itu membuat kita feel good dan feel good itu pun memancar. Dengan demikian, ketika kita berhubungan dengan pelanggan, pemasok,atau siapa pun, mereka juga merasakan hal yang sama, yaitu feel good.ConscienceSebenarnya tampa kita sadari, selama ini persepsi kita terhadap bisnis dan agama sering kali salah kaprah. 

Setidak-tidaknya itulah persepsi kebanyakan orang. Korelasi antara bisnis dan agama tersebut akan dipaparkan melalui tiga sudut pandang.Pertama, separation. 

Mereka yang menganut paradigm ini secara fulgar mengganggap bisnis itu kiri dan agama itu kanan. Maka, terjadilah pemisahan antara bisnis dan agama. Tidak heran jika pada akhirnya mereka mengeruk keuntungan tanpa mengindahkan etika-etika bisnis.

Kedua, Concession. Berpegang pada paradigm ini, maka praktik-praktik bisnis yang jelas-jelas melanggar hukum coba diimbangi dengan amalan-amalan agama. Misalnya, laba dari hasil kolusi didermakan kepada anak yatim piatu dan tempat ibadah. 

Di sini giliran nalar yang berbicara.Pastilah anda berpendapat bahwa kedua paradigm tersebut adalah keliru. Terus, apa jalan keluarnya? Paradigma yang ideal adalah unification. Dalam paradigm ini, prinsip-prinsip bisnis melebur dengan nilai-nilai agama. Pokoknya, mesti legal, mesti halal. Di sini mulailah nurani (conscience) yang angkat bicara. 

Membahas soal nurani, rasa-rasanya kita tidak boleh melewatkan temuan V.S. Ramachandran dari California University. Yaitu eksistensi got spot di setiap otak manusia. Banyak ahli yang meyakini di situlah nurani bersemayam. 

Belakangan ini kepekaan nurani dan kecerdasan spiritual (SQ) diakui sebagai factor penentu kesuksesan, mengimbangi bahkan mengungguli EQ, IQ dan AQ. Hal ini dikarenakan nurani berhubungan langsung dengan Yang Maha Menentukan Segalanya. Dan dengan nurani manusia bisa tetap saling menjaga hati sesamanya. 

Bukankah sifat manusia memang begitu? Nah, jadi, bersyukurlah anda menjadi manusia yang memiliki hati nurani.



SUMBER

2 komentar:

  1. Kami adalah perusahaan yang terdaftar, meminjamkan uang kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan mendesak, dan mereka yang telah ditolak kredit dari sana bank karena skor rendah kredit, pinjaman bisnis, pinjaman Pendidikan, mobil pinjaman, kredit rumah, kredit perusahaan (dll), atau untuk membayar utang buruk atau tagihan, atau yang telah scammed oleh pemberi pinjaman sebelum uang palsu? Selamat, Anda berada di tempat yang tepat, dapat diandalkan Pinjaman Perusahaan Ibu Kelly untuk memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat rendah dari 2% telah datang untuk mengakhiri semua masalah keuangan Anda sekali dan untuk semua, untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan hubungi kami melalui email perusahaan kami: (kellywoodloanfirm@gmail.com)
    Terima kasih
    Terima kasih dan Tuhan memberkati
    Ibu kelly

    BalasHapus
  2. Halo, nama saya Sulis Susanti dari Indonesia, saya ingin mengambil kesempatan ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu.
    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, aku jatuh korban penipuan oleh beberapa perusahaan pinjaman online, karena saya perlu sebuah perusahaan pinjaman yang jujur.

    Aku hampir menyerah, tidak sampai saya mencari nasihat dari seorang teman yang kemudian mengarahkan saya untuk pemberi pinjaman pinjaman yang sangat handal JOY WILSON LOAN FIRM, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari 750 juta rupiah dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres pada tingkat bunga rendah dari 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah pinjaman yang saya diterapkan langsung ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan, karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres.

    Saya ingin Anda yakin dan percaya diri bahwa ini adalah asli karena saya memiliki semua bukti pengolahan pinjaman ini termasuk kartu id, dokumen perjanjian pinjaman dan semua kertas kerja. Saya percaya Ibu Joy Wilson sepenuh hati karena dia telah benar-benar membantu dalam hidup saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan hubungi perusahaan melalui email: (joywilsonloanfirm@gmail.com)
    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (sulissusanti971@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman

    BalasHapus

Jangan Lupa Komennya ya.. Thanks